Cerpen sebagai Cermin: Merekam Luka Sosial dalam Kata (Pesantren Sastra V)
Sastra, dalam esensinya yang paling murni, adalah cermin yang memantulkan wajah masyarakat dengan segala lapisannya. Kata-kata bukan sekadar rangkaian bunyi yang indah, tetapi juga suara yang mengingatkan, mengusik, dan menggugah kesadaran kita akan kenyataan yang sering terlewat dalam hiruk-pikuk keseharian. Cerpen, sebagai salah satu bentuk sastra, memiliki kekuatan luar biasa dalam menyampaikan kritik sosial. Dalam ruang yang terbatas, ia mampu menyorot kegelisahan, menghadirkan ironi, dan merangkum potret dunia dalam fragmen-fragmen kehidupan.
Antologi “Peristiwa Memejamkan Mata” ini lahir dari semangat untuk berbicara—atau barangkali, berbisik dengan tajam—tentang berbagai persoalan sosial yang mengitari kita. Di tengah derasnya arus informasi di era digital, ketika kata-kata sering kali kehilangan makna dan sekadar menjadi gema tanpa isi, kami merasa perlu menghadirkan suara-suara yang lebih jernih, lebih tajam, dan lebih berani. Empat belas cerpen yang terangkum dalam buku ini menyoroti berbagai isu sosial yang menghadirkan suasana lokalitas: dari ketimpangan sosial yang menganga, kisah cinta yang mengakar seperti pohon tua, hingga pertarungan eksistensi diri di lingkungan sosial yang semakin terasa di tengah modernitas yang serba cepat.
Menariknya, setiap penulis dalam antologi ini memiliki caranya sendiri dalam merangkai kritik sosial. Beberapa memilih menyamarkan keresahan mereka dalam simbol-simbol, seperti yang dilakukan Ria Sukmadewi dalam cerpen “Peristiwa Memejamkan Mata”, di mana mata menjadi perlambang masyarakat yang mencari eksistensi di tengah hiruk-pikuk modernitas. Lainnya memilih jalur realisme, seperti “Menanak Ota” karya Geri Septian yang mencoba melihat persoalan dusta yang massif di kalangan masyarakat dan menjadi sebuah hal yang tak terelakkan. Ada pula yang mengambil sudut pandang percintaan dari sudut laki-laki yang ditulis oleh penulis perempuan, seperti dalam cerpen “Narman”. Begitu juga dengan gaya surealis yang terdapat dalam cerpen “Tah”, “Suma”, dan “Sebuah Pertemuan”.
Antologi ini merupakan buah karya dari Pesantren Sastra V yang diadakan oleh Sanggar Nuun Yogyakarta, komunitas kesenian yang berdedikasi untuk menciptakan ruang bagi pengembangan kreatifitas melalui seni, salah satunya sastra. Pesantren Sastra ini menjadi ruang bagi para penulis untuk berdialog, bereksperimen, dan mengasah kepekaan mereka terhadap realitas sosial melalui sastra. Dari proses inilah lahir karya-karya yang tidak hanya berdaya estetis, tetapi juga memiliki daya dobrak dalam membaca persoalan kemanusiaan.
Kami berharap antologi ini bukan sekadar kumpulan cerita, tetapi juga jendela—membuka cakrawala bagi siapa pun yang membacanya. Setiap cerpen di dalamnya adalah ajakan untuk melihat lebih dalam, untuk mempertanyakan yang sudah lama diterima begitu saja, dan untuk tidak sekadar menjadi penonton dalam arus kehidupan. Kami percaya, sastra bukan hanya alat untuk bercerita, tetapi juga api kecil yang bisa menyalakan perubahan.
Terima kasih sebesar-besarnya kepada para penulis yang telah mencurahkan kegelisahannya dalam bentuk kata, kepada tim editor yang bekerja tanpa lelah, serta kepada semua pihak yang telah ikut mewujudkan antologi ini. Untuk para pembaca, semoga antologi cerpen ini bukan hanya menyajikan kisah-kisah yang menggugah, tetapi juga menumbuhkan kepekaan—sebab perubahan selalu dimulai dari kepedulian. Begitu juga dengan kesadaran sebagai seorang manusia, kami menerima kritik dan saran. Jauh dari kesempurnaan, adalah alasan nyata untuk semua ini.
Yogyakarta, 30 Januari 2025
Koordinator Pesantren Sastra V
Geri Septian
asoy