0%
Posted inAfternuun Wacana

Relasi Teknologi dan Realitas; Dari Aktualisasi Hingga Disrupsi Diri

Oleh: Zahid Asmara [1]

Sejak zaman purba mediasi bukan fenomena baru dalam sejarah manusia. Manusia telah memediasikan pemikirannya sejak lampau dengan menggunakan berbagai media seperti gambar di dinding gua, dongeng, tarian, patung, dan nyanyian. Melalui berbagai medium tersebut pemikiran-pemikiran termanifestasi, aktual dan dapat diwariskan, sehingga sebagian dapat terremediasi dan ditemukan serta dipelajari pada masa kini. Pemikiran yang dimediasi melalui kisah para dewa, pahlawan yang berjasa, para moyang kosmogonik, serta litografi yang menjelaskan tentang bagaimana mereka menjalani hidup.

Di kemudian masa, ketika masyarakat telah semakin kompleks, kebutuhan dan paradigmanya akan realitas menuntut dialektika baik dalam rangka memediasi, maupun meminjam realitas versi dengan menggunakan berbagai medium. Kompleksitas tersebut sedikit banyak pula melibatkan logika-logika baru dalam mereorientasikan mediasinya baik yang dilakukan oleh para pendongeng maupun para pendengarnya. Berbagai “teknologi cerita” digunakan seperti tongkat, boneka, alat musik, bahkan hewan seperti ular dan elang. Dengan adanya berbagai medium tersebut membuat dongeng bukan hanya dapat “disaksikan” namun pula dapat “dialami”.

Dongeng mengalami transformasi dari oral ke visual, teatrikal ke interaksi artifisial dan lain sebagainya dalam rangka mendekati maupun membangun realitas. Dengan cara demikian, dongeng lebih memiliki kekuatan komunikatif sehingga mampu memasuki struktur kesadaran para pendengarnya secara lebih aktif dan intens. Membawa tokoh-tokoh ajaib mendekati realitas, menanamkan nilai dan visi tertentu, membangun realitas dan akhirnya ikut membentuk peradaban manusia (Kamandobat 2004).

Peristiwa serupa yang kurang lebih sama juga terjadi pada masa kini, masa di mana sedemikian rupa ragam mediasi telah berkembang dengan menggunakan format media yang lebih sophisticated. Dalam rupa tekstual, auditif, visual dan elaborasi ketiganya baik secara kohesif maupun adhesif bertaut, remediatif dengan medium lain atau pada proses mediasi sebelumnya. Berbagai format media tersebut ditempatkan dalam berbagai mode komunikasi-interaktif dalam berbagai platform yang terkoneksi secara global.

Dongeng-dongeng (baca; gagasan) yang ditransmisikan melalui format, mode dan platform media tersebut juga berkembang sedemikian rupa; para dewa, pahlawan, dan moyang dari masa primitif dan pendongeng nomadik telah digantikan oleh tokoh-tokoh publik; cerita yang disampaikan telah bergeser dari kisah seputar sosok, pohon dan hewan keramat ke cerita tentang kehidupan pribadi atau bisa juga berupa pendapat pribadi mengenai isu yang sedang aktual.

Pula, sebagaimana manusia primitif dan pendongeng nomadik menggunakan berbagai media untuk tujuan estetika dalam rupa gambar, patung, nyanyian dan cerita, manusia modern menggunakannya untuk tujuan yang sama. Meski terdapat perbedaan dalam, meminjam istilah Paul Levinson (Levinson 1999, 105-118), “restorasi-reformatif” (restoring as reforming) pengalaman dalam mendekati realitas. Pada masa masih hidup di dalam gua, kualitas restorasi yang ditampilkan masih berupa mimetis sederhana dan naif dari totem tertentu. Di tangan pendongeng, fenomena memetis dan naif tersebut diubah menjadi atraktif dan fantastik dalam rangka menghadirkan ataupun mendekati realitas faktual pendengarnya.

Dan sekarang, di mana setiap orang bisa menjadi pencerita dan pendengar sekaligus dengan menggunakan berbagai pilihan media secara simultan, masyarakat memilih mediasinya sesuai selera pribadi masing-masing, untuk memosisikan diri hingga remediasi dalam medium yang telah menjadi bagian dari ritual (praktik) sehari-hari. Singkatnya, sejak zaman purba manusia telah terbiasa berkomunikasi dengan menggunakan berbagai medium. Hal yang membedakannya terletak pada subjek yang melakukannya, gagasan yang ditransmisikan, format ataupun mode mimetis, dan medium yang digunakan, praktik komunikasi, serta tujuan penggunaannya.

Perbedaan-perbedaan tersebut berimplikasi pada pengertian tentang relasi dan interaksi sistem sosial,  konstruksi ruang dan waktu, formasi dan struktur sosial, perilaku dan tindakan, kesadaran historis dan sistem nilai, dan akhirnya pandangan hidup yang dianut, vice versa. Perbedaan-perbedaan tersebut merefleksikan adanya perbedaan realitas versi, yaitu tentang keberadaan manusia sendiri (Heidegger 1996, 108-118): bagaimana mereka mengkonstruksi dan mendefisikan diri sebagai manusia (human being) serta perbedaan ontogenesis atau tentang bagaimana mereka menjadi manusia (becoming).

Dalam konteks global saat ini, mediasi dalam berbagai medium telah menjadi salah satu pembentuk afinitas antar-individu berdasarkan tema atau isu tertentu. Dalam hal ini, afinitas antar-manusia tidak lagi secara total ditentukan oleh identitas kelas, etnisitas, otoritas agama, nasionalisme, dan ideologi tertentu saja, melainkan oleh kesepakatan, realitas versi yang dipilihnya. Seseorang dapat dengan mudah mengungkapkan pendapat sesuai pandangan pribadinya, misalnya, terkait institusi dan kebijakan negara, perubahan iklim, dan lain-lain. Me-remediasi terhadap isu tertentu yang sedang faktual (Hardt and Negri 2004).

Sosial Media, dalam beberapa kasus dengan praktik keseharian kini, merupakan representasi dari budaya yang dianut oleh mayoritas masyarakat dunia yang berhasil merajut berbagai ragam elemen budaya menjadi satu budaya tertentu. Lebih lanjut pada pembahasan berikut akan ditelisik lebih jauh bagaimana secara konteks sosio-kultural sebagian “kaum muda” urban merumuskan ulang identitas dirinya pada praktik keseharian tersebut. Serta sejauh mana dalam proses identifikasinya, kaum muda menautkan dirinya akan isu sosial di sekelilingnya sebagai fenomena atau realitas versi medianya.

Lebih lanjut paparan akan berfokus pada bagaimana realitas versri media menjadi satu peristiwa (fenomena) budaya. Yang di satu sisi, melalui praktik mediasi “kaum muda” akan dilihat sejauh mana upaya interpretasi, subversi, dan negosiasi yang dilakukan memalui praktik bermedia. Berkelindan kemudian melalui praktik remediasi akan dilihat bagaimana sosial media sendiri membentuk interdependensi pula mencipta ruang publiknya (cyber spare).

Fenomena yang dipaparkan pada bab pendahulu di atas menjadi paparan awal untuk melihat bagaimana sosial media mempunyai spektrum baik secara praktik mediasi maupun remediasinya. Untuk lebih jauh melihat realitas hingga proses mediasi –bahkan pada titik katarsis- sebagai wujud aktualisasi dan sekaligus aksentuasi pada isu tertentu yang dipahami. Terkait platform yang dipilih, pula coba didefinisikan kembali, diorientasi, dan dijadikan pintu transformatif dari praktik remediasi “realitas versi media” (pendongen) dan publik (pendengar) yang secara simultan membangun interdependensinya akan realitas. Melalui medium digital, khususnya di sini platform sosial media, mereka bersama-sama tergabung dalam peristiwa arstistik yang sama, dengan dan untuk menunjukkan identitas dirinya, mengungkap statement­ –untuk tidak menyebut mereduksi, realitas di sekelilingnya.

Relasi kohesif di atas berkait pada perkembangan kesadaran sebagai mekanisme mengkonstruksi dan mendefisikan diri sebagai manusia (human being), serta bagaimana dependensinya sebagai  proses ontogenesis manusia dalam menjadi dirinya (mode of becoming) (Heidegger 1996, 201-208). Secara sosial, proses tersebut berlangsung dalam jaringan semiotis yang kompleks mengingat medium dan mediasi yang dipilih. Serta modal semantik yang saling dipertukarkan, direlasikan, dan diremediasikan. Dari sini, hal yang perlu ditelisik lebih lanjut adalah: (1) medialitas yang on going terjadi pada realitas versi media (2) deviasi makna pada realitas versi media dalam upaya remediasi (3) hingga praktik remediasi-transmedia dan kemungkinan reduksi ataupun fragmentasinya akan realitas.

 

Referensi

Baudrillard, Jean. Simulacra and Simulation. Dialihbahasakan oleh Sheila Faria Glaser. Michigan: University of Michigan Press, 1994.

Bolter, Jay David, dan Richard Grusin. Remediation Understanding New Media. Cambridge: MIT Press, 2000.

Bryman, Alan. Disney and His Worlds. New York: Routledge, 1995.

Bunt, Gary R. Virtually Islamic: Computer-mediated communication and cyber Islamic environments. Wales: University of Wales Press, 2000.

Couldry, Nick, dan Andreas Hepp. The Mediated Constraction of Reality. Cambridge: Polity Press, 2017.

Hardt, Michael, dan Antonio Negri. Multitude War and Democrasy. New York: Pinguin press, 2004.

Haryanto, Ariel. Identitas dan Kenikmatan Politik Budaya Layar Indonesia. Dialihbahasakan oleh Eric Sasono. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2015.

Heidegger, Martin. Being and Time. Dialihbahasakan oleh Joan Stambaugh. Albany: SUNY Press, 1996.

Hjarvard, Stig. The Mediatization of Culture and Society. Canada: Routledge, 2013.

Jürgen Habermas, Sara Lennox, Frank Lennox. “The Public Sphere: An Encyclopedia Article.” New German Critique, 1964: 44-55.

Kamandobat, Faisal. Berakhirnya Peran Para Pendongeng. Opini, Jakarta: Suara Merdeka, 2004.

Levinson, Paul. Digital McLuhan: A Guide to the Information Millennium. London: Routledge, 1999.

 

[1] Makalah ditulis sebagai pengantar dalam diskusi program Afternoon School Sanggar Nuun. Selasa, 18 Oktober 2022 Student Center UIN SUKA, lt. 1


Zahid Asmara

Zahid Asmara

Santri di Pesantren Budaya Kaliopak. Memiliki perhatian yang besar di bidang Desain Visual, Ekosistem Media Sosial dan Budaya Siber.

Tinggalkan Balasan