PILU
Ada banyak hal yang mencuat bersama waktu, tentang keras kepala yang semakin terasa. Pun gemuruh ombak pasang yang siap menenggelamkan.
Kau, jadi tokoh paling banyak menelan pilu. Sedang aku berpura-pura menelan sembilu. Aku luka di ujung kuku, sedang kau meraup lebih banyak napas agar tetap hidup. Bahwasanya perihal kita yang terombang-ambing. Perihal kita yang saling menyanyikan sawala. Dan lembayung yang membungkam perihal ramainya kita.
Di sebuah gelap malam yang tak berkesudahan, perihal anyelir kuning yang menyusupi waras. Merompak tenang yang kian menipis. Serta menggerogoti waras hingga ujung batas. Semoga saja ia tidak membayang. Mengikuti peredaran cahaya untuk tetap hidup.
Namun, tidaklah mungkin, sebab kini telah membayang seperempatnya. Mencoba menyisipi bait-bait yang terjalin rapi. Menjadi sebuah tafsiran ganda atas setiap sangka buruk. Dan menjelma menjadi kesumat yang memuntahkan makian.
Anyelir kuning, menawan dengan tikaman. Menarik dengan tolakan kuat. Dan ia menjelma jadi satu yang disebut sandungan.
Anyelir kuning, yang di genggam bayangan. Meraung dalam sepi yang tak bertuan.
Yogyakarta, 22 Desember 2022
Btari Senandika Achala