Saat ini dunia sedang menampakkan wajah baru. Di mana manusia hidup di luar kesadaran dirinya, dan bergerak dalam pola kebudayaan komunikasi yang carut marut. Tidak ada lagi ruang pembatas untuk menjangkau segala kebutuhan yang kita inginkan. Segalanya melebur dalam satu kesatuan yang dapat dengan mudah kita akses melalui beragam alat buatan seperti: teknologi, yang kecerdasannya jauh melebihi kecerdasan manusia itu sendiri. Dengan bantuan alat tersebut, manusia semakin berfantasi dalam gaya dan pola hidup –konsumerisme. Di mana saat ini, sebuah barang bukan lagi dilihat dari segi fungsi. Tapi nilai, citraan, dan strata sosial yang disematkan paling awal. Orang memakai gelang emas bukan lagi sebagai fashion, melainkan lebih terhadap nilai dan pengakuan strata sosial yang diagung-agungkan.
Seiring dengan dengan rancunnya pola kehidupan seperti itu, tanpa sadar manusia dihadapkan pada problem yang sangat kompleks. Problem tersebut bukan hanya tentang apa yang ada di luar dirinya, seperti: Kesenjangan sosial yang dilatar-belakangi permasalahan ekonomi yang tidak merata. Melainkan, kita juga dihadapkan pada problematik yang ada di dalam diri kita masing-masing.
Dalam kondisi yang telah mencapai titik hiper-realitas, manusia terjebak dalam perasaan yang dibangunnya sendiri. Rasa keterasingan, ketidak-amanan, ketidakpastian mengenai identitas, dan kebenaran semu yang diproduksi oleh ke-aku-an sebagai bangunan rasa atau logika kebudayaan. Berangkat dari kesadaran terhadap ke-aku-an yang demikian, maka penghapusan ke-aku-an menjadi “KITA” adalah sebuah perlawanan alternative atas pengkotak-kotakan yang demikian.
Fenomena itu terus berkembang menjadi riuh di berbagai ruang sosial, budaya, ekonomi, politik yang tidak mau kalah mengambil bagian sebagai bentuk eksistensi. Keriuhan tersebut dipicu oleh kata “aku” yang tidak mau menjadi “kita.” Sehingga dampak yang terjadi adalah keriuhan, hujat-menghujat, dan saling menjatuhkan satu sama lain. Hal itu, tentu juga dipicu oleh “KATA” sebagai media komunikasi yang sudah mengalami pergeseran makna. Saat ini, bahasa tidak lagi berfungsi sebagai media komunikasi, lebih dari itu, ia juga merupakan pisau tajam yang siap melukai semua lawan. Peristiwa seperti ini, juga tidak lepas dari peranan kota yang menjadi simbol perkembangan zaman. Keegoisan, keriuhan, hujat menghujat dan saling menjatuhkan satu sama lain semakin marak kita temukan di per”KOTA”an.
Saat ini, manusia dihadapkan pada zaman modern, di mana kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu pesat, dan membuat penghuninya dituntut untuk tidak ketinggalan informasi. Banyak para ilmuan yang berusaha membuat istilah-istilah baru dalam menafsiri zaman saat ini. Seperti contoh: Jean Baurdilard, dengan istilah “hipper Reality, Simulakra, dll.” Kemudian, disusul lagi dengan istilah-istilah lain yang muncul seperti, “HOAX, OMG, SPAM, HASTAG, OTT, PLANNING dan lain-lain yang semuanya mempengaruhi pola hidup dan berkomunikasi lapisan masyarakat.
Tidak menutup kemungkinan zaman yang akan datang “KATA” akan mengalami perubahan secara terus menerus sesuai dengan kondisi zaman itu sendiri. Sebagai manusia yang bergelut dalam bidang kesenian, khususnya sastra, kita mempunyai peranan penting untuk mengaktifkan kembali bahasa yang mulai pudar (jarang digunakan) sebagai pengkayaan perbendaharaan bahasa yang tidak hipper-realitas. Hal inilah yang kemudian menjadi landasan proses kreatif divisi sastra dalam membaca fenomena tersebut.
Merujuk pada sebuah opini yang berjudul “Kita Kata Kota,” yang diusung menjadi tema besar proses sastra ”SANGGAR NUUN” kali ini, tidak lain dan tidak bukan, hal itu sebagai ruang alternatif dalam menampung, merepresentasikan, sekaligus mengembangkan hasil pembacaan terhadap realitas sosial-budaya, dalam mencipta karya seni –khususnya sastra. Tema tersebut merupakan satu kesatuan tak terpisahkan sebagai sebuah tema karya sastra yang pada dasarnya terjadi di setiap segmen kehidupan masyarakat akhir-akhir ini. “Kita” sebagai manusia dengan segala sifat dan tugas kemanusiannya, patut merenungi kembali setiap detail persoalan untuk merajut kedamaian dalam kehidupan. Tema “Kita Kata Kota” ini, juga merupakan cara pandang atas bagaimana kita sebagai subjek mampu memahami objek yaitu kota dengan kata-kata sebagai konjungsi. Sederhananya “Kita Kata Kota” adalah upaya memanusiakan manusia dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing di tengah kemajemukan dalam menjaga persatuan.
Sebagai pengantar landasan kreatif, kami rasa pengertian diatas cukup untuk memberikan gambaran secara sederhana mengenai latar belakang proses pembacaan (kepekaan) terhadap realitas yang sedang kita hadapi sekarang. Sebagaimana kita ketahui, realitas yang terjadi di luar kita tidak tetap (Stagnan), tetapi berkembang dan terus berkembang menuju kesempurnaan sesuai dengan kondisi zaman.