Berujar Saat Delapan Belas Tahun
Delapan belas tahun bukanlah waktu yang singkat. Orang-orang tua kami sering berkisah panjang lebar bahwa sejak didirikannya Sanggar Nuun, bukan saja telah melalui perjalanan panjang tetapi sekaligus “mendebarkan”. Perjalanan panjang barang kali sudah pasti karena umur Sanggar Nuun itu sendiri, tetapi perjalan yang mendebarkan tentu masih asing bagi kami yang baru tiga atau empat tahun terlibat di dalamnya. Kami hanya sering mendengar dari mereka yang membuat metafor, bahwa perjalanan Sanggar Nuun itu ibarat perahu yang mengarungi luasnya samudera dan berani memecahkan hantaman gelombang dalam proses ekspresi estetisnya. Dari metafor tersebut kemudian lambat laun memberikan pelajaran pada kami, bahwa hal ihwal perahu Nuun mesti dilayarkan kembali, proses berkesenian mesti dilanjutkan dan berani berhadapan dengan banyak kenyataan.
Dari metafor itu juga kami sedikit mengerti apa yang mereka sebut perjalanan yang mendebarkan. Perjalanan tersebut mulai kami rasakan dengan sedikit banyak kepahitan sekaligus kemanisan di sana-sini. Kami mungkin belum sepenuhnya “terlibat” dalam berbagai gerakan kesenian di wilayah Yogyakarta khususnya dan Indonesia umumnya, meski kami tidak sedikit juga ikut cawe-cawe dalam ruang kebudayaan dan berbagai event kesenian di dalamnya. Kami sadar benar bahwa tanpa semangat dan modal kreativitas yang kami miliki, komunitas ini tidak lah mungkin sampai pada umur yang sedang kami rayakan. Di satu sisi komunalitas harus harus kami jaga, di sisi lain kreatifitas harus kami kembangkan. Dalam rentang waktu tersebut akhirnya membawa kami terus bergesekan bukan hanya sesama komunitas kesenian yang ada di luar tetapi juga dengan yang ada di dalam untuk menemukan “kedewasaan” dalam berkesenian.
Akhirnya, kedewasaan adalah sesuatu yang sedang kami tuju yang bukan hanya dalam pencapaian usia tetapi sampai pada kematangan proses kreatif. Proses kreatif tersebut tidak lain adalah dari pengalaman akan kegelisahan dan ketidakpuasan terhadap yang telah kami lakukan.
Ndang Nggawe Gawe
Sebagaimana proses-proses kami terdahulu, “Ndang Nggawe Gawe”semula adalah sedikit kegelisahan pada diri kami dalam berproses kesenian. Kegelisahan itu akhirnya keluar lewat jalan pameran bersama dalam bentuk seni rupa yang berlangsung pada Senin-Jum’at, 25-29 Oktober 2010 di sayap timur gedung Multi Purpose UIN Sunan Kalijaga.
Jalan itu kami pilih dengan alasan bahwa lewat pameran bersama akan membuka dialog dari pengalaman masing-masing untuk cepat “Ndang Nggawe Gawe”di komunitas kami sendiri atau mungkin juga di komunitas atau individu yang terlibat di dalamnya. Dengan demikian “Ndang Nggawe Gawe”adalah ungkapan tentang keadaan untuk segera mencipta karya. Kegelisahan itu kemudian muncul; pada tatahan kayu-kayu besar karya Bogang Jagro yang menyerupai bagian-bagian tubuh manusia seperti potongan hidung, selakangan dua kaki dalam anatomi tubuh manusia. Tatahan lain adalah miniatur binatang-binatang laut dalam bentuk su-realis dalam teknik pahatan kulit kerang. Keterlibatan seniman lain adalah Johanes yang membuat miniatur manusia (wanita) melalui media resin atau karya Janur Kilat manusia yang serupa boneka dari batu dalam Lihat Aku!.
“Ndang Nggawe Gawe”memang tidak dimaksudkan untuk membatasi bentuk dan media atas karya para seniman yang terlibat. Hal ini sangat nampak bahwa seniman yang terlibat di dalamnya bebas berekspresi dengan tema tersebut juga pada pilihan media apapun dalam membebaskan imajinasinya sehingga muncul perberbedaan, ada layang-layang (parasut) Togog dan Gareng Tok karya Jhonny Chandra. Atau pada karya Sarjana Kambing Gembala karya Misbachul Munir yang menggunakan media kaleng bercat hitam dan Akbar Binbachrie yang menggunakan plywood untuk Menuju Horison-nya. Memang, kebebasan media atas karya secara tidak langsung juga memperlihatkan dunia seniman dengan kedekatan karya yang mereka cipta. Mereka yang banyak melibatkan diri dengan kertas akan muncul karya dengan dunianya seperti Arum Fatimah, Nurul Fitri juga Komunitas Origami untuk ikut ”bersuara”. Tidak sebatas kertas, mereka juga mencampurnya dengan media-media lain (Mixed Media), Bukan Gus Dur (Okta E.F), Art the Fuck (A.N. Affandi), Terlena (Wahyu W.N), dan lain sebagainya untuk terlibat lebih jauh dengan “Ndang Nggawe Gawe”.
Dan sudah barang tentu, suara-suara dari media kanvas tidak ketinggalan untuk berekspresi. Mereka yang datang dari media ini bukanlah tandingan atas karya-karya lain dalam sebuah medan laga, tetapi karya-karya tersebut memiliki representasi tersendiri untuk terlibat dan berbicara tentang “Ndang Nggawe Gawe” ala Sanggar Nuun. Mereka bisa bicara apa saja, dari Penguasa Zaman (Edi Purwanto) sampai Bertanya Jadi Seniman (Sindhu Cutter), dari Sistem Perekonomian Kota (Firman Pe-thuQ) sampai Kamuflase Bintang (Tri Suharyanto), dari Saling Berbagi (Ajar Ardiyanto) melewati Ludiro Madu (Bebeth) sampai kemudian Terjebak (Iskandar Ishak). Karya-karya tersebut seolah bukan sedang membicarakan “tentang Ndang Nggawe Gawe”tetapi sebuah tragedi atas pengalaman untuk “Ndang Nggawe Gawe”. Tragedi tersebut adalah membuat tragis pengalaman sehari-hari yang kemudian memasuki kanvas dan berlarian dengan cat, tinta bahkan sampai Kunyit membuat berbagai rupa.
Akhirnya; rupanya kita mesti berujar bahwa kita siap dan terus “Ndang Nggawe Gawe”.