0%
Posted inWacana

Kebanjiran Identitas

Suatu upaya mengenal dan mengejar rangkaian kegiatan yang dipenuhi kumpulan manusia, jalinan komunikasi yang di bangun dengan balutan busana agar terlihat menarik dan menjadi perbincangan diantaranya. Mengakses kerumunan itu dalam bingkai sosialisasi diri tak jauh berbeda dengan pameran harga diri dalam bentuk yang halus.
Bangkitnya identitas sama halnya dengan jatuhnya harga diri sebagai mahluk yang mulia, identitas bukan sekedar perjumpaan antara diri dan mahluk lainnya, melainkan suatu penghilangan jati diri.

Semua berawal dari tontonan kemudian menjadi memori internal yang nantinya akan menjadi keinginan sebagai nyata dalam hidup. Di fase ini, manusia mengalami peningkatan harkat dan martabat dalam “kegagalan” identitasnya mengalami pergeseran makna menuju keterjatuhan murni, walaupun duduk perkaranya ialah relasi diri dengan makna keliru di pahami sebagai kualitas identitas yang nyata, sangat berkabut untuk melihat makna-makna yang terkandung dalam reaksi diri yang dipertontonkan hanya kulit sebagai wajah media.

Peristiwa di atas hampir sama dengan ungkapan martin haedeger (Dasman) suatu ketengelangan dalam keramaian massa. Manusia mengalami kekosongan jati diri bahkan fatalnya tidak lagi mengenal siapa dirinya.

Niat awal agar bagaimana sejatinya umat manusia mengetahui perihal identitas yang diidentik dengan upaya kemauan serta keinginan kuat berbaur di antara keramaian, berdampak sebaliknya (lost identity).

Seberapa dalam kah pengetahuan manusia tentang dirinya? Kita agaknya melupakan hal itu sebab terlalu dianggap remeh dan tak perlu, mungkin kah menunggu waktu yang cukup lama akan hal itu? Pertanyaan inilah yang menjadi awal kehidupan yang tak berada.

Saya menganggap bahwa dalam konteks kehidupan, manusia tidak lepas dari cermin sehingga saya memperoleh perhatian terhadapnya, peristiwa perjumpaan kita dengan cermin ialah cerminan dari seseorang bahwa kita berjumpa dan menggunakan cermin itu sebagai wujud dari keberadaan. Namun yakinkah kita untuk menyadari keberadaan itu? Saya curiga jangan-jangan cermin lebih menyadari hal itu dari pada penggunaannya, kendati saya menyimpulkan keberadaan cermin ialah realitas murni dari keberadaan manusia, berarti lenyap sudah penggunaan pengguna kedalam yang di gunakan.


Syahrul shalitea

Syahrul shalitea

Mahasiswa Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga. Lahir di GMNI, dewasa dan menjadi ketua. Kemudian berlayar dan menemukan arti hidup di Sanggar Nuun

Tinggalkan Balasan